Berita Nasional

Peninjauan Kembali pada KUHAP 1981

Romli Atmasasmita

UPAYA hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diatur/dibolehkan pada KUHAP 1981 sejatinya mengadopsi Herziening di area di sistem hukum Belanda khususnya di perkara perdata, tidak perkara pidana. Di pada KUHAP, 1981 upaya hukum PK merupakan upaya hukum satu-satunya yang dimaksud bersifat luar biasa.

Keluarbiasaan PK diketahui dari ketiga alasan PK yaitu: (a) adanya novum, (b) pertimbangan pada satu putusan bertentangan dengan putusan yang lain di satu perkara pidana, serta (c) terdapat kekeliruan hakim atau kekeliruan yang nyata. Ketiga alasan PK yang disebutkan sejatinya tidak ada secara khusus bertujuan mengungkap tujuan kepastian hukum, melainkan bertujuan menemukan keadilan, dan juga keadilan di perkara pidana bukan dibatasi oleh waktu (tidak ada tenggat daluarsa) dan juga dapat diajukan oleh ahli waris sekalipun terpidana meninggal dunia. Hal ini diperkuat bahwa permohonan pengajuan PK tidaklah dibatas tenggat waktu lazimnya berlaku untuk upaya hukum banding kemudian kasasi.

Ketiga alasan untuk mengajukan PK tidaklah semudah dibayangkan, lantaran masing-masing dari ketiga alasan yang disebutkan memerlukan daya imajinasi kemudian logika abtraksi sosial dan juga yuridis yang memadai juga tidaklah dapat sekadar ditemukan oleh sarjana hukum tanpa pengalaman hidup yang digunakan cukup.

Ada beberapa alasan. Pertama, jikalau terdapat novum yaitu suatu keadaan baru yang dimaksud ditemukan setelahnya putusan pengadilan berkekuatan tetap; yang dimaksud apabila ditemukan sejak awal sidang pengadilan dipastikan akan diputus bebas. Kedua, menemukan adanya keadaan atau dasar pertimbangan putusan yang digunakan telah dilakukan berkekuatan hukum tetap memperlihatkan terdapat di putusan yang dimaksud saling bertentangan. Alasan kedua PK ini pun tidaklah mudah menemukannya lantaran memerlukan ketelitian dan juga pengamatan hukum secara menyeluruh berhadapan dengan putusan pengadilan sejak tingkat pertama sampai dengan Taraf Kasasi. Ketiga, apabila di tempat pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum masih terdapat suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Alasan ketiga ini pun tidaklah mudah menemukannya sebab hampir dapat dapat dipastikan di setiap putusan pengadilan setiap saat dipimpin oleh Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang khusus untuk perkara langkah pidana korupsi, terdiri dari dua hakim karier lalu satu orang hakim ad hoc. Dilengkapi orang hakim seharusnya putusan pengadilan aksi pidana kecil kemungkinan terdapat alasan-alasan untuk PK kecuali alasan pertama, novum.

Berdasarkan putusan MKRI Nomor 34/PUU-XI/2013 telah terjadi dinyatakan bahwa pengajuan PK dapat diadakan lebih tinggi dari satu kali; dan juga berdasarkan SE MARI Nomor 3 Tahun 2023, permohonan pengajuan PK dapat diajukan lebih banyak dari satu kali tetapi tiada lebih besar dari 2 (dua) kali dengan alasan terdapat pertimbangan hukum yang digunakan berbeda-beda pada beberapa putusan pengadilan. Hak dan juga kebebasan setiap pemohon PK yang digunakan tampak dibatasi hanya saja satu alasan dari tiga alasan hukum sebagaimana ditegaskan di Pasal 263 KUHAP sejatinya bertentangan dengan prinsip-prinsip pengamanan HAM sebagaimana telah lama dicantumkan dalam di Pasal 28 I ayat (1), (2), kemudian ayat (4) UUD 45 sehingga dapat dikatakan tidaklah tepat, tiada sepatutnya lalu tidak ada sepantasnya diatur di dalam pada KUHAP 1981 yang mana jelas-jelas menyatakan bahwa, pembaharuan besar KUHAP 1981-sehingga dikenal sebagai Karya Agung Bangsa Indonesia.

Menurut hemat penulis, SEMA Tahun 2023 sejatinya bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 yang mana sudah menentukan tiga alasan pengajuan PK, tidaklah terkecuali dengan alasan bahwa PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tersebut bukan mengenal batas waktu pengajuannya serta hak asasi yang mana melekat selama terpidana menjalani hukumannya. Tidak dibenarkan terdapat perbedaan perlakuan hukum terhadapnya yang digunakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berhadapan dengan perlakuan yang serupa dalam muka hukum , di arti harus terdapat keseimbangan antara hak negara lalu hak setiap terpidana untuk memperoleh keadilan.

Related Articles

Back to top button