Regi Zamzam: Dari Tukang Bangunan Hingga Petani Muda Sukses Hidroponik di Tasikmalaya

Di balik hijaunya daun selada yang tumbuh rapi di dalam green house milik Kelompok Rumah Hidroponik Tanjungpura Berdikari, tersimpan kisah inspiratif seorang anak muda yang pernah jatuh, diremehkan, dan akhirnya bangkit membuktikan bahwa bertani bukan pekerjaan yang bisa dipandang sebelah mata.
Awal Perjalanan: Dari Tukang Bangunan Hingga Terpanggil Bertani
Namanya Regi Zamzam, 23 tahun, warga Kampung Cihonje, Desa Tanjungpura, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. Sebelum dikenal sebagai petani hidroponik, hidup Regi pernah sangat sulit.
“Saya pernah kerja bangunan, ngangkut bata, upahnya cuma Rp80 ribu sehari. Sementara teman-teman seumuran saya asyik main, saya banting tulang,” kenang Regi.
Waktu itu, pandemi COVID-19 membuat peluang kerja semakin sempit. Ia sempat bekerja di berbagai tempat, dari Telkom hingga menjadi promotor di Oppo, bahkan sempat merantau kerja di perusahaan ekspor buah. Namun semuanya terhenti saat pandemi menghantam.
Perkenalan dengan Dunia Hidroponik
Satu titik balik terjadi saat ia berkunjung ke sawah Panglayangan dan bertemu dengan Pak Jemmy dari Balai Penyuluhan Pertanian. Di sana, Regi melihat green house hidroponik untuk pertama kalinya.
“Saya pikir mereka tanam kaktus! Eh, ternyata selada dan sayur-mayur segar. Saya tertarik dan mulai belajar.”
Bersama sahabatnya Yogi, Regi serius belajar metode tanam hidroponik. Mereka pun didukung oleh Kepala Desa yang saat itu menerima mandat untuk memberdayakan pemuda desa melalui pertanian modern.
Dari situlah Kelompok Rumah Hidroponik Tanjungpura Berdikari lahir di tahun 2021.
Berjuang dari Nol: Belajar, Gagal, dan Bangkit Lagi
Memulai usaha hidroponik bukan hal yang mudah. Dari bantuan awal 2000 lubang tanam, hasil panen pertamanya bahkan hanya menghasilkan Rp200 ribu.
“Kami belum paham bibit yang bagus, nutrisi yang tepat, dan belum tahu cara pasarnya. Tapi kami terus coba.”
Kini, dari 6000 lubang tanam yang mereka kelola, sekali panen bisa menghasilkan 12 kuintal selada. Bahkan dengan metode peremajaan tanaman, mereka bisa panen setiap 20 hari sekali.
“Kalau rutin dan serius, penghasilan dari hidroponik bisa sampai Rp20 jutaan per bulan,” ungkapnya.
Sistem Tanam Modern: Tak Perlu Kotor dan Ramah Lingkungan
Metode yang digunakan Regi dan timnya adalah sistem NFT (Nutrient Film Technique), dengan air yang dipompa secara sirkulasi melalui talang. Tanaman hidup tanpa tanah, cukup ditanam di media busa.
“Enaknya, nggak perlu nyangkul, nggak kotor. Hanya tinggal pantau air dan nutrisi saja.”
Kendala terbesar mereka saat ini adalah hama, seperti ulat dan belalang, serta penyakit daun seperti mata kodol. Selain itu, ketika musim kemarau, selada konvensional dari luar daerah bisa masuk pasar dan menekan harga.
Pasar Semakin Luas, Kolaborasi Makin Kuat
Kini, selada hasil hidroponik Tanjungpura sudah masuk ke berbagai kota seperti Bandung, Jakarta, Sumedang, bahkan dipasarkan di Asia Plaza Tasik. Dalam sehari, produksi bisa mencapai 4 kuintal untuk memenuhi permintaan lokal yang terus meningkat.
“Dulu saya dan Yogi sampai keliling jam 2 malam cuma buat nawarin sayur ke toko-toko. Sekarang, alhamdulillah, udah punya tim pemasaran sendiri.”
Hidroponik Bisa Dipelajari Siapa Saja
Yang menarik, Regi mengaku dirinya tidak punya latar belakang pertanian. Semua ia pelajari dari nol. Bahkan kini, ia membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin belajar hidroponik.
“Kami punya Instagram @hidroponik_tanjungpura_berdikari, tinggal DM aja. Mau belajar, mau gabung, insyaallah kami bantu.”
Regi juga punya cita-cita untuk memperluas lahan hingga 100.000 lubang tanam dan mengajak lebih banyak anak muda untuk sukses bersama di jalur pertanian.
“Jalur Langit” dan Kepercayaan pada Waktu Tuhan
Lebih dari sekadar sukses finansial, Regi meyakini bahwa keberhasilannya adalah hasil dari keyakinan dan doa.
“Yakin aja sama pertolongan Allah. Nggak cepat, nggak lambat. Tapi selalu datang tepat waktu.”
Penutup: Dari Olok-olok Menjadi Inspirasi
Regi Zamzam adalah contoh nyata bahwa kerja keras, semangat belajar, dan keyakinan bisa mengubah nasib. Dari anak muda yang pernah jadi bahan olok-olok, kini ia berdiri tegak sebagai penggerak pertanian modern di desanya. Bagi Regi, bertani bukan hanya profesi—ini adalah bentuk perjuangan, pengabdian, dan jalan untuk meraih berkah.